Tuesday, August 21, 2007

Penentuan Tingkat di Kursus Piano Klasik

Kalau seseorang ingin mendaftar ke kursus piano klasik,
maka dia akan disodori daftar biaya kursus dan tingkatnya.
Semakin tinggi tingkat maka semakin tinggi biayanya.
Untuk berada di tingkat tertentu harus melalui ujian kenaikan tingkat.
Dari semua kursus musik klasik, biasanya jurusan piano klasik
merupakan jurusan yang paling banyak tingkatnya.
Dengan kata lain, jurusan yang paling lama membutuhkan waktu untuk belajar sampai tingkat mahir.
Lalu, apa yang terjadi apabila seseorang karena sesuatu sebab pindah kursus ke tempat lain.
Maka, diberlakukan peraturan yang kemungkinan besar berbeda dari satu tempat kursus dengan tempat kursus lainnya.
Misalnya Kursus Piano "A", memberlakukan peraturan murid harus mengulang lagi dari tingkat awal.
Sementara Kursus Piano "B", memberlakukan semacam tes kemampuan (tes penempatan) kemudian disesuaikan dengan kurikulum ditempat kursus yang baru.
Alternatif ke dua, menurut penulis lebih adil, karena seseorang pasti sudah mempunyai
dasar yang sama, walaupun calon murid tersebut merupakan pindahan dari tempat kursus lain.
Musik klasik, apakah alat musik yang dipelajari adalah piano, biola atau lain-lainnya,
semua mempunyai dasar-dasar yang sama, yaitu ketukan - ritme - nada.
Persoalan teknik, kelenturan jari dan pergelangan tangan merupakan persoalan kedua yang bisa
diasah lebih lanjut dan materi-materi lain bisa ditambahkan oleh guru baru.
Yang penting calon murid tidak perlu diturunkan tingkatnya.
Menurunkan tingkat secara psikologis melemahkan semangat calon murid,
yang berada di jaman dimana musik klasik merupakan aliran musik yang tidak populer
dibandingkan aliran musik pop, jazz bahkan dangdut.
Tetapi, walaupun tes kemampuan (tes penempatan) sudah dilakukan,
ternyata ada tempat kursus yang memberlakukan peraturan bahwa untuk menempuh
ujian di tingkat tertentu harus lebih dahulu menempuh ujian di tingkat bawahnya.
Menurut penulis, peraturan seperti ini mengada-ada.
Agak tidak masuk akal, apabila seseorang yang sudah mempunyai kemampuan
di tingkat III, tetapi karena yang bersangkutan merupakan murid pindahan,
maka murid tersebut harus ikut ujian tingkat I dan II.
Peraturan seperti ini seolah-olah mengindikasikan bahwa kursus piano tersebut mengejar
pemasukan dana dari biaya ujian kenaikan tingkat.

Memang kurikulum piano klasik terkenal kaku dan lagunya itu-itu saja.
Apakah benar seperti itu ?
Jangan-jangan guru-guru di kursus musik memang tidak diberi kesempatan mengembangkan
materi untuk muridnya.
Karena, kursus musik tersebut juga menjual buku-buku pelajaran
yang memang lagu-lagunya merupakan kompilasi dari beberapa komposer.
Dan guru-guru ternyata hanya mengajarkan materi yang terdapat dibuku-buku pelajaran tersebut.
Dapat dibayangkan apabila sebuah kursus piano klasik, murid tingkat I nya berjumlah 30 orang,
sedangkan sebuah buku hanya berisi kurang lebih 12 lagu kompilasi ditambah tangga nada dan buku tentang latihan jari (finger exercise).
Betapa membosankannya suasana kursus piano klasik seperti itu.
Apalagi ada tempat kursus yang memberlakukan ujian kenaikan tingkat setiap kali buku yang dipelajari selesai dimainkan seluruhnya.
Bagaimana apabila, murid tidak suka dengan lagu yang dimainkan ?
Kemungkinan ini bisa saja terjadi, tergantung dari karakter murid yang bersangkutan.
Anak kecil berbeda karakternya dengan remaja.
Lagu yang disukai remaja belum tentu disukai oleh murid dewasa.
Bahkan ada beberapa lagu yang terdengar sama tetapi tingkat kesulitan memainkannya berbeda,
karena memang editornya berbeda.
Penulis yakin, tidak semua guru piano klasik mau bersusah payah berburu lagu yang disesuaikan dengan muridnya.
Apalagi ditambah alasan, tempat kursus hanya membolehkan murid mempelajari dari buku-buku setempat.

Guru-guru piano klasik sebagian besar sudah melampaui masa sulit dari tidak menyukai musik klasik
sampai akhirnya menyukainya.
Masa-masa sulit dan kesabaran yang dimiliki oleh guru-guru piano klasik,
ternyata tidak dimiliki oleh sebagian besar murid-muridnya.
Murid piano klasik di abad 21 sekarang ini, adalah anak-anak dengan budaya instan.
Budaya instan dimana segalanya cepat saji, serba ada, sekali buang, pokoknya serba cepat.
Agak kontradiksi dengan budaya klasik yang segalanya serba detil, satu demi satu,
berurutan dan mendalam.
Bermusik, entah itu aliran klasik atau pop adalah merupakan ekspresi jiwa.
Seyogyanya ekspresi jiwa tidak dibatasi dengan kaku.
Kalau tidak, bagaimana seseorang bisa menghayati sebuah musik, kalau memainkannya saja dibatasi.
Pendekatan instan tidak ada salahnya dicoba untuk pengajaran piano klasik.
Yang penting, murid menyukai dulu lagu yang dia dengar.
Tugas guru adalah mengajarkannya.
Tidak ada gunanya mengajarkan sesuatu yang murid tidak suka, walaupun menurut kurikulum,
materi tersebut sangat penting.

Lagu piano klasik dari berbagai komposer ribuan jumlahnya.
Menurut penulis tidak perlu menunggu sampai grade IV untuk mengajarkan lagu "Fur Elise" (L.v. Beethoven).
Lagu tersebut banyak diminati oleh murid karena terkenal.
Dalam satu lagu tersebut, guru bisa mengajarkan ketukan, ritme, arpegio, chromatic, not seperdelapan,
not seperenambelas dan triplet.
Dinamika dan ekspresi bisa dikembangkan lebih lanjut melalui cerita, siapa sebetulnya Elise (Elisa)
tersebut dan kenapa Beethoven membuat lagu untuknya.

Lagu "Rondo alla Turca" dari W.A.Mozart boleh saja diajarkan lebih awal,
tidak perlu menunggu murid sampai pada tahap bisa memainkan Sonata in A major - K 331.
Karena untuk bisa memainkan seluruh variasi Sonata K 331 memang harus berada di tingkat mahir.
Seringkali juga guru piano terkecoh dengan era musik klasik.
Seolah-olah lagu dari jaman Klasik lebih mudah daripada jaman Romantik.
Atau seolah-olah lagu jaman Romantik susah semua karena teknik memainkannya sulit.
Lagu "Le Petite Negre" dari Debussy, tidak sulit diajarkan ke anak kecil.
Selain karakternya lincah sesuai karakter anak-anak, lagu tersebut bentuknya merupakan pengulangan, sehingga mudah dihafal.
Selain itu melalui lagu tersebut, guru bisa mengajarkan interval 3 minor, teknik penjarian
dan perputaran pergelangan tangan.
Karena masyarakat lebih sering mendengar karya Mozart dan Beethoven dibandingkan
Kabalevsky dan Prokoviev, seolah-olah lagu ciptaan komposer Rusia tidak ada yang enak didengar.
Tak kenal maka tak sayang.
Lagu "Toccatina" nya Kabalevsky bisa dimainkan oleh murid kelas II SD, lagunya riang.
Anak-anak suka, sehingga guru juga bisa mengajarkan interval 1 - 3 - 6, yang dimainkan sepanjang lagu
dan memperkenalkan melodi bisa juga dimainkan oleh tangan kiri, sementara tangan kanan memainkan iringan (melodi with accompaniment).

Kembali ke pokok pembahasan tentang penentuan tingkat tadi.
Diperlukan kehati-hatian dalam menentukannya, karena tidak dapat diukur dari lamanya les di tempat lama.
Kemampuan bermusik dan bermain piano merupakan kemampuan individual.
Guru di tempat kursus dapat membagi kemampuan murid menurut tingkat dasar, menengah atau mahir.
Semakin lama seorang murid mengikuti les piano tidak menjamin murid tersebut menjadi sangat mahir.
Sebaliknya, kalau seorang murid bisa sangat cepat menyerap pelajaran, tidak ada salahnya guru mendukungnya, bukan menurunkan tingkatnya dengan alasan tidak sesuai kurikulum atau peraturan kursus.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari seorang guru apabila melihat muridnya bermain piano dengan sukacita.

Sunday, August 05, 2007

Pilihan

Pilihan Pembicaraan antara aku dan murid piano, yang merupakan anak SMU kelas 3.
Aku : "Kamu kalau lulus SMU, ingin melanjutkan sekolah kemana ?".
Murid : "Belum tahu. Mungkin disain".
Aku : "Kamu ikut bimbingan belajar untuk itu ?".
Murid : "Tidak".
Aku : "SMU nya jurusannya apa ?".
Murid : "IPA".
Aku : "Lahhh, itu IPA, kenapa tidak ke Teknik ?".
Murid : "Saya masuk IPA karena disuruh ayah".

Pembicaan antara aku dan murid piano, yang merupakan anak SMP kelas 3, baru lulus ujian.
Aku : "Kamu kelas berapa ?."
Murid : "Kelas 3 SMP".
Aku : "Kenapa belajar piano ?."
Murid : "Di rumah ada piano.
Saya ingin bisa main piano."
Aku : "Nanti ingin masuk SMU mana ?."
Murid : "Nggak tahu. Gimana mama ?."
Aku : "Lhooo ..... kamu inginnya masuk SMU mana ? Nanti lihat hasil NEM bukan ?".
Murid : "Iya."

Pembicaraan antara aku dan murid piano, yang merupakan anak SD kelas 1. Aku : "Pernah belajar piano ?."
Murid : "Nggak. Aku tidak tahu apapun soal piano."
Aku : "Lalu, kenapa belajar piano ?."
Murid : "Disuruh mama."
Aku : "Di rumah ada piano ?."
Murid : "Ada."
Aku : "Siapa yang main piano ?."
Murid : "Papa."
Aku : "Kamu mau belajar piano ?."
Murid : "Bagaimana aku bisa tahu ? Mencoba saja belum."
Aku : "OK. Sekarang kita coba. Mau ?."

Murid : "Yaaahhh ..... "